Indonesia membutuhkan pembangkit listrik sebanyak 60.000 MW hingga 2025.
Akhir-akhir ini berkembang diskusi soal thorium. Tentu banyak yang bertanya-tanya apa itu thorium. Thorium merupakan sumber energi baru terbarukan, dan termasuk bahan bakar nuklir alternatif, selain uranium, atau yang kini dikenal dengan nama nuklir hijau.
Soal penggunaan nuklir di Indonesia sebagai pembangkit tenaga listrik juga sebenarnya sudah lama menjadi bahan perbincangan. Bahkan, dalam sejarah Indonesia, rencana penggunaan nuklir selalu yang dikemukakan adalah untuk kepentingan damai, yakni kepentingan pembangkit listrik dengan bahan baku uranium.
Pemerintah melalui Kementerian Riset dan Teknologi pernah mengungkapkan Indonesia berencana membangun pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) untuk pengembangan energi guna memenuhi kebutuhan listrik sebanyak 60.000 megawatt (MW) pada 2025.
PLTN sempat digadang-gadang akan dibangun di Gunung Muria, Kudus, Jawa Tengah, Bangka Belitung, atau di Kalimantan. Bahan baku untuk kepentingan PLTN berasal dari uranium. Indonesia sendiri sebenarnya sudah memiliki rencana serius penggunaan PLTN sejak 1970-an.
Kini, bahkan Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) sedang membangun reaktor nuklir terbaru atau yang ke-4 di Serpong, Banten. Nantinya reaktor yang ditargetkan selesai dan beroperasi 2019 tersebut juga akan menggunakan bahan bakar thorium (nuklir hijau).
Program Reaktor Daya Eksperimental (RDE) itu berkapasitas 30 MW. Kombinasi reaktor ini bisa uranium, juga thorium. Alasan Indonesia mengembangkan thorium, karena cadangan thorium di Indonesia jauh lebih banyak dibandingkan uranium. Di sebut-sebut, cadangan di Indonesia mencapai 70.000 ton, atau 4 kali lebih banyak daripada cadangan uranium.
Harus diakui, Batan mengungkapkan, belum ada satu negara pun yang berhasil mengembangkan thorium secara komersial sebagai sumber energi pembangkit listrik. Wajar, Pemerintah Indonesia cukup hati-hati untuk menggunakan komoditas mineral tersebut. Yang jelas, PLTN yang direncanakan dibangun itu tetap membutuhkan uranium selain thorium.
Mulai Dihentikan
Dalam perkembangannnya, penggunaan nuklir sebagai pembangkit listrik sudah lama dikembangkan di dunia. Negara Eropa seperti Prancis sudah memanfaatkan PLTN sebagai sumber energi dan bahkan Prancis mengekspor energi nuklir ke negara lain.
Begitu juga Jerman. Namun, negara yang terletak di kawasan Bavaria itu mulai gamang dengan tenaga nuklir dan berencana menutup pembangkitnya dan berencana impor dari Prancis.
Di Timur Tengah, Uni Emirat Arab juga tengah membangun empat PLTN yang akan selesai mulai 2017 – 2020 karena nuklir dinilai bisa jadi subtitusi minyak. Demikian pula dengan Saudi Arabia pun telah memproklamirkan penggunaan tenaga nuklir sebagai pengganti minyak pada 2020.
Selain Jepang yang sudah lama memiliki PLTN, negara tetangga Indonesia yaitu Malaysia juga sudah berkomitmen akan membangun reaktor nuklir di Serawak dalam waktu dekat.
Kasus Kebocoran
Sayangnya pembangkit listrik berbasis nuklir mulai redup sejak beberapa kebocoran pembangkit di beberapa negara di dunia, seperti kasus Chernobyl, sebuah kecelakaan reaktor nuklir terburuk dalam sejarah dunia pada April 1986. Demikian pula kejadian di Fukushima pada 2011.
Pertanyaannya apakah yang menjadi pembeda antara bahan nuklir berbasis uranium dan thorium? Thorium merupakan bahan bakar yang yang memilki densitas energi terpadat. Alhasil 1 ton thorium yang hanya sebesar bola basket dapat menjadi bahan bakar pembangkit listrik berdaya 1,000 MW selama 1 tahun.
Bandingkan dengan uranium yang membutuhkan 200 ton atau batubara yang membutuhkan 3,5 juta ton. - dan yang lebih menggembirakan bahwa Indonesia memiliki cadangan thorium untuk 1.000 tahun.
Beberapa ilmuwan menyebut energi thorium merupakan sebuah revolusi energi, sebuah sumber energi yang bersih, menghasilkan limbah nuklir yang sangat kecil, tidak dapat dipersenjatai, tidak mengeluarkan emisi apapun dan karena densitas energi yang sangat tinggi maka energi yang dihasilkan sangat murah.
Thorium akan mengakhiri pengunaan bahan bakar berbasis fosil seperti minyak dan batubara selamanya. Sebab di masa depan, kendaraan, kapal laut, bahkan pesawat terbang dapat memakai thorium sebagai bahan bakar. Dan, Indonesia baru berencana untuk di pembangkit listrik.
Sejumlah perusahaan multinasional disebut-sebut siap membangun reaktor atau PLTN berbasis thorium itu. Sebut saja, Rosatom, Rusia. Bahkan, BUMN Rusia sudah sempat melakukan penandatanganan roadmap for development of bilateral cooperation in the sphere of nuclear fuel cycle between Rosatom fuel compant TVEL dan Batam, pada Selasa 1 Juni 2016.
Demikian pula dengan Thorcon International Pte Ltd. Perusahaan asal Amerika Serikat itu telah menyatakan keseriusannya melakukan investasi sebesar USD1,2 miliar atau sekitar Rp17 triliun untuk membangun pembangkit listrik tenaga thorium (PLTT) 500 MW di Indonesia.
Bayangkan, dari sisi total biaya produksi termasuk operasional, pembangkit listrik dari thorium juga lebih murah. Thorium hanya membutuhkan USD3 sen per kwh. Bandingkan dengan jika menggunakan batu bara membutuhkan USD5,6 sen per kWh, gas USD4,8 sen per kWh, tenaga angin USD18,4 sen per kWh, dan panas matahari USD23,5 sen per kWh.
Pertanyaan selanjutnya, apakah Indonesia akan menjadi pelopor penggunaan thorium sebagai bahan bakar pembangkit listrik bersama AS dan Tiongkok. Tentu kita tunggu saja langkah berikutnya dari pemerintah.
Yang jelas, rencana Indonesia masuk ke energi hijau itu tentu menjadi sumber energi alternatif bangsa ini di masa depan yang relatif murah dan efisien, Bisa jadi, dengan penggunaan thorium akan mengakhir rezim tarif listrik karena tarif listrik dapat turun lebih dari 30% dan tidak akan naik selama reaktor itu hidup. (F-1)
0 comment:
Posting Komentar
silahkan entri sepucuk komentar